Tuesday, May 19, 2009

Doujinshi


Fenomena sosial lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan manga adalah manga amatir, yaitu dōjinshi. Perkembangan pesat industri manga komersil di tahun 1960-an mendorong perkembangan produksi manga yang bersifat amatir dan non-komersial. Manga amatir ini dihasilkan oleh artis-artis manga dan para manga otaku yang tidak termasuk di dalam lingkungan industri manga komersil atau yang tidak bersedia bekerja di dalam penerbit manga komersil yang menurut mereka mempunyai aturan-aturan yang dapat mengekang kebebasan mereka dalam berekspresi. Manga amatir ini di Jepang dikenal dengan istilah ‘dōjinshi’.
Kata dōjinshi adalah gabungan dari kata ‘dōjin’ dan ‘shi’. Kata ‘dōjin’ mengandung makna orang-orang yang mempunyai minat yang sama terhadap sesuatu, sementara kata ‘shi’ adalah kependekan dari kata ‘zasshi’ yang berarti majalah dalam bahasa Jepang (Kanemitsu, online). Dengan kata lain, dōjinshi dapat dikatakan sebagai sebuah majalah yang dibuat oleh orang-orang yang mempunyai minat yang sama. Dōjinshi mulai berkembang di tahun 1970-an seiring dengan perkembangan manga komersil, percetakan offset, mini communication, dan mesin fotocopy (Kinsella, 2000:105). Dengan berkembangnya keempat hal tersebut mempermudah para artis manga amatir dan juga para manga otaku yang mempunyai hobi menggambar untuk memproduksi hasil karya mereka sendiri.
Pada dasarnya, manga dan dōjinshi tidak terlalu berbeda, keduanya adalah sebuah medium yang berisi gambar-gambar dan kata-kata yang tergabung menjadi satu kesatuan untuk menyampaikan sebuah cerita yang menyalurkan aspirasi dan perasaan pengarangnya. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada kebebasan ekspresi dan eksperimen dari para artisnya. Manga, walaupun masih mendapat protes sebagai media yang terlalu mengekspos kekerasan dan erotisme terlihat ‘normal’ dan ‘aman’ bagi para pembacanya dikarenakan manga masih terikat batasan-batasan yang ditentukan oleh editor dan penerbitnya, sedangkan dalam dōjinshi para artisnya dengan ‘bebas’ mengekspresiken dan bereksperimen dengan ide dan perasaan mereka tanpa terikat oleh batasan-batasan yang ditentukan para editor serta penerbit. Kondisi ‘bebas’ ini karena doujinshi tidak diterbitkan melalui penerbit besar seperti ‘the big four’ (Kodansha, Shueisha, Shogakukan, dan Hakueisha) melainkan dicetak sendiri oleh para artisnya dalam skala kecil, selain itu penyebaran dōjinshi juga hanya di kalangan orang-orang yang mempunyai minat sama terhadap cerita-cerita yang ditawarkan oleh para artis dōjinshi. Tema dan genre dari dōjinshi sangat beragam dan bervariasi, Sebagimana disebutkan oleh Schodt (Schodt, 1996:37),
“The dōjinshi sold at the conventions consist of a variety of genres, including orijinaru (original works), aniparo (parodies of popular animation shows), ju-ne mono (serious stories of love between gay males, of the sort pioneered by ju-ne magazine, and y-a-o-i (from the phrase YAma-nasi, Ochi-nasi, Imi-nasi, meaning “no climax, no punchline, no meaning”; playful stories of a nonsensical sort, often taking male characters from popular animation series and depicting them in gay relationships). For males the most popular genres are probably bishōjo (“beautiful young girls”) and rorikon (“Lolita complex”)”.
Dōjinshi biasanya dibuat oleh saakaru (huruf katakana) atau circle. Mereka sekelompok orang yang mempunyai minat sama berkolaborasi untuk menciptakan dan menerbitkan hasil karya mereka. Di tahun 1996 diperkirakan terdapat 50.000 manga circle di Jepang (Schodt, 1996). Sebagaimana disebutkan di atas, doujinshi bukan produk komersil yang didistribusikan secara massa. Pendistribusiannya berskala kecil antara 500 hingga 1000 eksemplar dan disebarkan melalui yang adalah internet, toko-toko khusus yang biasanya menjual manga dan anime bekas seperti Mandarake, dan juga konvensi berskala besar, salah satu di antaranya adalah ajang Comic Market atau comiket.

Komik Jepang: "Manga"


Istilah “manga” dalam bahasa Jepang merupakan pengertian umum untuk mendeskripsikan semua buku komik, film animasi, kartun lucu (funnies), dan karikatur (Shiraishi, 1997). Artinya, istilah manga dalam konteks Jepang bisa mengandung beberapa pengertian di atas. Tapi, dalam tulisan ini istilah “manga” akan merujuk pada pengertian manga sebagai buku komik (seterusnya akan disebut manga).
Manga di Jepang umumnya, diterbitkan dalam dua format, yaitu zasshi dan tankōbon. Zasshi merupakan manga dalam format majalah berisi antologi beberapa cerita bersambung atau serial dari beberapa artis manga. Pada umumnya, setiap cerita panjangnya sekitar 15-35 halaman. Dicetak menggunakan kertas daur ulang dan tidak berwarna (umumnya hanya 1 atau 2 halaman pertama saja yang berwarna), dan harganya relatif murah berkisar antara 270-500 yen (Chen, 1997:98-99). Manga dalam format buku atau biasa disebut ‘tankōbon’ adalah cerita bersambung dari seorang artis manga yang sebelumnya telah dipopulerkan terlebih dahulu dalam majalah manga, misalnya manga Nana karya Yazawa Ai, yang sebelumnya diserialkan dalam majalah manga Cookie. Tankōbon dicetak menggunakan kualitas kertas yang lebih baik, tidak berwarna, panjangnya berkisar antara 100-200 halaman dengan harga 400-500 yen (Chen, 1997:98-99).
Sejarah manga di Jepang dapat ditelusuri sejak abad ke-12. Menurut Natsume Fusanosuke, masyarakat Jepang sejak dulu mempunyai hubungan dekat dengan medium cerita yang menggabungkan unsur gambar dan tulisan, seperti ‘emakimono’ yang berkembang di abad ke-12, seperti ‘kibyoshi’ dan ‘ukiyo-e’ yang berkembang di jaman Edo. Menurut catatan sejarah, awal penggunaan istilah manga dapat ditelusuri sejak tahun 1770-an. Baru pada abad ke-19 istilah manga digunakan secara komersial yaitu ketika serial karikatur cetakan balok kayu (woodblock print) karya Katsushika Hokusai diterbitkan pada tahun 1819. Sedangkan Istilah manga dan ‘mangaka’ (artis yang membuat manga) baru menjadi kosakata sehari-hari masyarakat Jepang sejak awal periode Shōwa (Shimizu, 1991:15). Penyebaran istilah manga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang di tahun 1930-an ini ditandai dengan kemunculan serial comic strip pertama yang diterbitkan di surat kabar Hochi dan Asahi Graph tahun 1920-an (Kinsella, 2000).
Manga yang kita kenal sekarang ini, berkembang sejak pasca Perang Dunia II dipelopori oleh Tezuka Osamu. Pada awalnya manga adalah media hiburan untuk anak-anak korban bom atom di akhir Perang Dunia II (Shiraishi, 1997), dalam kondisi penuh kehancuran di sekitar mereka serta trauma melihat orang tua, tetangga, teman, dan saudara mereka yang meninggal akibat ledakan dasyat dari bom atom, Tezuka Osamu menggambar manga untuk anak-anak. Dengan menggunakan gaya film kartun Disney dan Animasi Max Fleischer serta teknik-teknik sinematik film Perancis dan Jerman, Tezuka yang dijuluki “manga no kamisama” (dewa manga) membuat cerita-cerita manganya menjadi lebih ‘hidup’ dengan membawa pembacanya ke dalam sebuah perjalanan emosional antara kebahagiaan, kesedihan, kebenciam, kemarahan, kekecewaan, dan sebagainya melaui gambar-gambar dan tokoh-tokoh manganya. Dengan keahliannya, Tezuka membuat orang yang sedang membaca karya-karyanya seperti sedang menonton film. Tetsuwan Atom, Ribbon no Kishi, Buddha, dan Hi no Tori adalah beberapa karya legendaris Tezuka yang sangat populer di Jepang maupun di luar Jepang.
Gaya dan teknik manga Tezuka ini dikenal dengan nama ‘story manga’ atau ‘narrative comic’ (Schodt, 1988, Shiraishi, 1997).Gaya dan teknik ‘story manga’ ini merupakan cikal bakal manga kontemporer yang kita kenal sekarang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball Z, Fruit Basket, Slam Dunk, Doraemon dan masih banyak lagi judul-judul lain yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari orang di seluruh dunia, baik dalam bentuk bajakan maupun asli, yang sudah diterjemahkan atau masih dalam bahasa aslinya, yang dalam hal ini sudah mempunyai fans secara global. Tezuka Osamu juga menciptakan ‘sistem produksi’ dimana seorang manga-ka dibantu oleh para asisten sehingga memungkinkan untuk membuat manga dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Selain itu, secara tidak langsung memberikan pelajaran dan pengalaman berharga bagi para asisten tersebut ketika akhirnya mereka menjadi manga-ka profesional. Tezuka Osamu yang terkenal dengan ketekunan dan keseriusannya dalam menggambar manga memberi inspirasi untuk para manga-ka sesudahnya. Sebagai contoh, antara lain Fujio.Fujiko, dua manga-ka yang menciptakan karakter Doraemon yang mendapatkan penghargaan baik di Jepang maupun di luar Jepang (Shiraishi, 1997).
Manga di Jepang baik dalam format zasshi maupun tankōbon bukan saja media hiburan untuk anak-anak tetapi juga media hiburan untuk remaja dan orang dewasa. Berdasarkan klasifikasi usia dan jender, klasifikasi manga dibagi menjadi empat yaitu shōnen, shōjo, seinen, dan josei (redizu komi). Shōnen manga adalah manga untuk remaja laki-laki yang berusia di antara 8 tahun – 18 tahun. Ciri khas manga ini penuh aksi petualangan, tokoh protagonisnya adalah remaja laki-laki dan seringkali menggunakan plot humor untuk menggambarkan tokohnya. Misalnya, Dragon Ball, (karya Toriyama Akira) diserialisasikan pertama kali di majalah mingguan manga ShounenJump mulai dari tahun 1984 hingga tahun 1995, dan dikumpulkan menjadi 42 volume tankōbon di tahun 2004. ShonenJump merupakan majalah antologi manga yang memiliki sirkulasi tertinggi di Jepang. Shōjo manga adalah manga yang ditujukan untuk remaja putri berumur antara 12-18 tahun. Tema dan gaya ceritanya biasanya menekankan pada cerita kehidupan cinta anak-anak remaja SMP dan SMU. Manga seperti sailor moon, fruit basket, chobits adalah beberapa judul shojo manga populer yang dapat kita baca dewasa ini. Seinen manga adalah genre yang ditujukan bagi pembaca laki-laki berumur antara 18-30 tahun. Genre ini bisa dikatakan variasi dari genre manga shounen, tetapi dengan gaya cerita lebih kompleks dan berorientasi pada kondisi orang dewasa. Salah satu contoh manga genre ini adalah Akira. Josei manga adalah genre manga yang ditujukan untuk perempuan muda yang sudah bekerja berumur antara 21-30 tahun ke atas. Manga genre ini biasanya bertema tentang kehidupan kantor, rumah tangga, percintaan, dan sebagainya.

New Paper......

Today i arrived late at my office. I want to get started on my next paper project. well there is one of two ideas in my mind at the moment, but still can decided which one i want to write....
my first idea and maybe i am going to do it is Manga & Doujinshi.....
is that possible well will see won't we....

Monday, March 16, 2009

Komik sebagai media pendidikan dan media informasi


Pasca reformasi tahun 1998, media komik marak menjadi salah satu media informasi dan pendidikan baik bagi instansi pemerintah dan lsm-lsm, komik-komik tersebut antara lain;

Kyoto International Manga Museum


Pada bulan Juni 2008 saya mendapat kesempatan mengunjungi Kyoto International Manga Museum....

keep trying.....

Dalam perjalanan saya meneliti komik Jepang saya sudah mencoba beberapa sudut pandang salah satunya adalah yang di bawah ini:

Permasalahan Pokok
Social relativism:
Menurut Lebra (1976), kebudayaan dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk, salah satunya dapat dilihat dari perilaku pastisipan kebudayaan yang bersangkutan. Adapun perilaku yang dimaksud adalah perilaku masyarakat Jepang dalam Interaksi sosial
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti perilaku masyarakat Jepang dalam konteks kebudayaan. Menurut Lebra, kebudayaan dimanifestasikan dalam bermacam-macam bentuk, salah satunya melalui sudut pandang perilaku dari partisipan dalam kebudayaan yang bersangkutan (Lebra, 1976).

Japanese behavior in the cultural context.
Will gain better understanding of the behavior patterns as manifested within a culture that has been generated and accumulated, taught and learned, carried and circulated, believed in and acted out by the Japanese.
It is equally important to assume that studying the Japanese should lead to a deeper understanding of human culture and behavior.
Japanese behavior as a sample of the behavior of Homo Sapiens---nomothetic point of view---area-bound culture---phenomenon of culture borrowing from other areas---Japanese are known for their eagerness to borrow indiscriminately---idiografic commitment.
Culture and Behavior:
Culture is manifested in various forms.
Japanese culture from the point of view of the behavior of participants in that culture.
Culture and behavior interact:
Culture is a set of general, abstract, or ideational symbols…behavior is a series of observable, specific, muscular, organism-attached motions or postures.
Behavior is a manifestation of, or a vehicle for conveying culture.

Function of culture in relation to behavior:

1. Culture provides a meaning, explanation, or interpretation for an observed behavior---culture is a set of cognitive codes.
2. Culture gives a set of alternative direction of behavior---destination of behavior:
 The goal or end to which behavior is oriented.
 Pathways or means to reach the destination.
 Norms and rules controlling behavior toward that destination.

I want to locate what is essential to the ordinary Japanese, to identify what their life goals are, what elates them or upsets them, what makes them happy or unhappy, pleased or angry---“what turns the Japanese on”. In other words…interested in those aspect of cultural behavior that are valued charged.

What is value and how does it relate to behavior?
Parsonian scheme--- two dimension of value, each conceptualized in a dichotomy:
1. The obligatory-desirable dichotomy. A value as an obligatory standard is inhibitive, and may be perceived as a constraint or burden. A value as a desirable attribute…corresponds with the affective aspect of behavior; it is something that carries emotional attachment, is voluntarily sought.
2. The expressive-instrumental dichotomy. A value is expressive if it is exalted as an end itself, whereas a value is instrumental if it is considered a useful means to an end.

Conflict and Alternatives:


Interaction:
The objective is to set forth the dynamic, conflict-ridden interplay of the components of culture in conjunction with individual behavior. This further relates to the importance attached …to social interaction between individuals or groups as the key linkage between culture and behavior.
The interaction focus should provide another explanation for variation and contrast, as well as uniformity and redundancy, in behavior from individual to individual within a culture.
Saya bertujuan untuk melakukan penelitian mengenai perilaku orang Jepang dalam berinteraksi secara social, khususnya perilaku yang culture-specific dan value-ridden yang tercermin dalam salah satu media massa popular Jepang, yakni manga. Alas an menggunakan manga sebagai sumber data karena manga atau buku komik merupakan salah satu genre naratif modern yang mana di dalamnya mencerminkan kehidupan modern dan mempunyai andil dalam perkembangan dunia modern. Kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam studi ini adalah konsep “social relativism” dari Takie Sugiyama Lebra. Dalam bukunya yang berjudul “Japanese Patterns of Behavior”, Lebra membahas mengenai perilaku masyarakat Jepang dalam interaksi sosial, khususnya perilaku yang culture-spesific dan value-ridden.

Remembering....

Pada awal saya memulai penelitian tentang komik Jepang atau Manga, saya bertanya kepada diri sendiri, Mau diapakan mahluk bernama "Manga" ini? Apa yang mau diteliti dari sebuah buku komik yang notabene buku bacaan anak-anak yang berkonotasi negatif... tapi atas bantuan dan dorongan Ibu Ilya (Universitas Indonesia) dan Prof. Saya Shiraishi (Tokyo University)saya dapat menyelesaikan penelitian saya tentang buku komik dan juga menjadi salah satu poin yang merubah hidup saya.....

Masa masa perjuangan,,,,

Kerangka Pemikiran penelitian mengenai manga

Critical Theory

Structural Approach

Marxist Critical Theory

Social Cultural Approach

Cultural Studies

Semiotic
I. Critical Theory
Critical social science. Three essential features of critical social science:
1. Critical social scientists believe it necessary to understand the lived experience of real people in context.
2. Critical approaches examine social condition and uncover oppressive power arrangements.
3. Critical social science makes a conscious attempt to fuse theory and action.
Critical theories in communication field are so broad so to make it simpler, Dennis Mumby provides a simple and clear scheme that useful for sorting out this problem. Mumby classifies communication scholarship into two broads groups—modern and postmodern. He presents four “discursive positions”;
• Discourse of representation or modernism (positivist).
• Discourse of understanding or interpretative modernism.
• Discourse of suspicion or critical modernism.
• Discourse of vulnerability or postmodernism.
II. Structural Approach

III. Marxist Critical Theory

IV. Social Cultural Approach

V. Cultural Studies

VI. Semiotic

Saturday, February 28, 2009

my notes....

i want to collect as many data that i can't get about Japanese pop culture. So in the process i will be post various aspect regarding Japanese pop culture. I hope in doing so i can somehow get a 'feel' about Japan popular culture as a whole...
and before that i will also compile various theories about popular culture in general, for a better understanding about Japanese popular culture.....

Bishonen

http://en.wikipedia.org/wiki/Bish%C5%8Dnen

Bishōnen 美少年 is a Japanese term literally meaning "beautiful youth (boy.

The term describes an aesthetic that can be found in disparate areas in Asia: a young man whose beauty (and sexual appeal) transcends the boundary of sexual orientation. It has always shown the strongest manifestation in Japanese pop culture, gaining in popularity due to the androgynous glam rock bands of the 1970s,[1] but it has roots in ancient Japanese literature, the homosocial and homoerotic ideals of the medieval Chinese imperial court and intellectuals, and Indian aesthetic concepts carried over from Hinduism, imported with Buddhism to China.[2]

Today, bishōnen are very popular among girls and women in Japan.[2][3] Reasons for this social phenomenon may include the unique male and female social relationships found within the genre. Some have theorized that bishōnen provide a non-traditional outlet for gender relations. Moreover, it breaks down stereotypes surrounding feminine male characters. These are often depicted with very strong martial arts abilities, sports talent, high intelligence, or comedic flair, traits that are usually assigned to the hero/protagonist. To be continued....

Ikemen....



'Ikemen' piggybank

The Japanese word “ikemen” means something akin to “cool guy,” but Bandai’s Ikemen piggybank is possibly the single most stomach-churning toy we’ve ever seen.

Aimed at god knows what kind of simpleton, the bank features an LCD that displays grainy scenes from a “love story” involving the saver and one of said “ikemen.” Add a 500 yen coin and the scene progresses to a conclusion we have no desire to explore. Getting there will cost five brown notes, which takes us back to a few memorable nights just off Broadway. Only difference is, we didn’t get the cash back at the end of the show. (J Mark Lylte/Metropolis)

http://www.japantoday.com/category/new-products/view/save-up-then-throw-up

My Trip to Kyoto- Japan, June 2008


The building behind me is Kyoto International Manga Museum. I was very lucky to have the chance to go to Kyoto for Short-term Research training sponsored by JICA.

Part II....

This summary is not available. Please click here to view the post.

Komik sebagai Media Informasi dan Pendidikan dalam Perkembangan Masyarakat Sipil di Jepang dan Indonesia I

Pendahuluan
Pembahasan mengenai masyarakat sipil dan ranah publik, maka tidak dapat dipungkiri bahwa media massa ( dibaca—media) mempunyai peran penting di dalam perkembangannya. Dalam konteks ini, media digambarkan sebagai sebuah kekuatan virtual yang dapat merubah opini publik dan mempengaruhi atau bahkan menciptakan arah perubahan sosial di dalam masyarakat. Media disini merupakan perangkat yang membantu menerapkan prinsip-prinsip masyarakat sipil menjadi sebuah tindakan yang nyata dan juga mengefektifkan partisipasi masyarakat dalam kerangka masyarakat sipil dengan menyediakan informasi yang akurat dan tepat. Di samping itu, media juga dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan publik terhadap isu-isu sosial seperti hak azazi manusia dan aktivitas perdamaian. Tentu saja, hal-hal tersebut sebaikanya didukung oleh institusi-institusi dan individu-individu media yang bertanggung jawab sehingga dapat membantu menegakkan perilaku-perilaku yang akuntabel dalam masyarakat. Dalam hal ini, media dapat dikatakan sebagai ‘ranah publik’ dalam perkembangan masyarakat sipil.
Ranah pulik bukanlah semata-mata sebuah ranah secara harafiah melainkan sebuah istilah metaforik yang digunakam untuk mendiskripsikan sebuah ruang publik dimana berjuta-juta individu berinteraksi satu sama lainnya. Di dalam ruang virtual ini, percakapan-percakapan, ide-ide, dan pikiran-pikiran setiap individu bertemu. Tempat dimana informasi, ide-ide, dan perdebatan berputar di dalam masyarakat, dan tempat opini politik terbentuk. Tempat dimana setiap individu dalam sebuah masyarakat mengetahui apa-apa saja yang sedang terjadi di sekelilingnya, dan isu-isu sosial, kebudayaan dan politik apa saja yang kita hadapai. Tempat dimana setiap individu terlibat di dalam isu-isu tersebut dan menambahkan suara mereka untuk mendiskusikannya, dengan kata lain memainkan peranannya dalam proses sebuah masyarakat mencapai sebuah konsensus atau kompromi tentang apa yang kita pikirkan terhadap isu-isu tersebut dan apa yang harus kita lakukan terhadapnya. (McKee, 2005)
Ranah publik tidak sama persis dengan media. Akan tetapi, kedua istilah ini digunakan dalam dua konteks dan situasi yang berbeda, yaitu dalam tulisan ilmiah dan tulisan populer—diskusi yang membahas tentang isu-isu yang serupa misalnya bagaimana sebuah komunitas yang besar mensirkulasikan ide-ide, mendiskusikan respon-respon yang memungkinkan, dan mencapai semacam persetujuan bagaimana mengatasi isu-isu tersebut. Hubungan antara kedua istilah ini rumit dan saling tumpang tindih. Di satu pihak, ‘ranah publik’ merupakan sesuatu hal yang lebih besar dari ‘media’, di lain pihak, ‘media’ mempunyai peran penting di dalam ‘ranah publik’. Dalam hal ini, media massa berperan sebagai sarana dimana populasi dalam jumlah besar bersama-sama saling bertukar ide-ide, pendapat-pendapat, opini-opini. Media massa merupakan tempat untuk kita mengetahui tentang ‘publik’—yaitu jutaan individu lainnya yang hidup bersama-sama dalam sebuah negara (McKee, 2005).
Masyarakat sipil secara umum didefinisikan sebagai kehidupan berasosiasi dalam masyarakat yang secara bebas tanpa terikat dengan pemerintah dan pasar (Pharr, 2003). Salah satu elemen masyarakat sipil yang berperan penting dalam perkembangannya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM adalah lembaga non pemerintah yang terdiri dari sekelompok individu yang berfungsi sebagai fasilitator dan mediator antara pemerintah dan masyarakat umum. Dengan kata lain, LSM berfungsi sebagai organisasi yang memberdayakan masyarakat umum serta memberikan informasi dan pendidikan mengenai isu-isu yang terjadi di dalam lingkungan sekitar mereka. Dalam rangka memberdayakan masyarakat umum, LSM-LSM tersebut memasuki ‘ranah publik’ dimana setiap masyarakat umum mendapatkan informasi dan pengetahuan terhadap situasi dan kondisi isu-isu yang sedang berlangsung di sekitar mereka.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, media massa mempunyai peran penting di dalam ranah publik. Dengan kata lain, media massa merupakan sarana agar isu-isu tersebut tersebar luas sehingga setiap individu dapat berinteraksi di dalam ranah publik tersebut. Dalam rangka memberdayakan masyarakat LSM-LSM melakukan penyadaran masyarakat dengan beberapa cara, salah satunya dengan memanfaatkan media budaya populer yaitu buku komik.
Buku komik (dibaca—komik) adalah bacaan populer yang disukai tua dan muda. Kehadirannya dapat diterima oleh hampir semua lapisan masyarakat. Fungsi utamanya adalah hiburan, namun tidak sedikit pelajaran yang dapat dipetik dari komik. Ironisnya, pada suatu masa, komik pernah dicerca dan tidak boleh dibaca oleh para pelajar, karena dianggap memberi pengaruh yang kurang baik pada anak-anak (Zaimar dan Hidayat, 1994).
Komik diproduksi secara massa, murah dan cepat. Komik menggunakan bahasa sehari-hari di dalam balon-balon dialog untuk mengkomunikasikan pendapat dengan cepat dan langsung (Frank, 1944:221). Dengan menggunakan Gambar-gambar yang terdapat di dalam komik, komikus mengontrol interpretasi pembaca terhadap kata-kata yang terdapat di dalam komik. Gambar-gambar tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca secara tidak sadar didorong untuk melihat apa yang diinginkan oleh komikus melaui kata-kata dan gambar-gambarnya. Garis-garis dan balon-balon dialog membuat pembaca untuk ‘mendengar’ pesan-pesan yang disampaikan komikus di kepala mereka, sehingga membawa pembaca ke dalam dunia khayal komik (McGlaun, 2003).
Komik merupakan salah satu media populer di dalam masyarakat Jepang dan Indonesia (Kinsella, 2000, Boneff, 1976). Di Indonesia komik sudah ada sejak tahun 1930-an akan tetapi sempat menghilang dari peredaran hingga di awal tahun 1990-an komik-komik indie seperti Core Comic karya anak-anak muda Yogyakarta mulai beredar dan menyebar ke kota-kota besar Indonesia lainnya seperti Surabaya dan Bandung (Muhammad, Koran Tempo, 2003), komik lokal pun kembali meramaikan dunia penerbitan Indonesia.
Komik Jepang yang dikenal dengan istilah “manga” juga merupakan media cetak yang sangat populer di Jepang. Menurut catatan sejarah manga muncul sejak abad ke-12 dan berkembang pesat di akhir Perang Dunia II (Kinsella, 2000). Sejak awal kemunculannya di abad ke-12, manga selain media hiburan juga merupakan media untuk mengkritik kondisi masyarakat dan kehidupan bangsawan kerajaan ketika itu (Shinizu, 1991). Begitu pula dengan manga yang populer dewasa ini, dipelopori oleh Tezuka Osamu di akhir Perang Dunia II, manga yang awalnya diciptakan sebagai media hiburan anak-anak Jepang korban bom atom berubah menjadi media naratif dengan menggunakan teknik-teknik sinematik sehingga tidak hanya anak-anak yang dapat menikmati manga, orang dewasa pun juga dapat menikmatinya (Shiraishi, 1997). Pada tahun 1990-an, manga selain menjadi media populer di dalam masyarakat Jepang juga menjadi salah satu ikon budaya populer Jepang yang mempunyai pengaruh global (Gin Cee Tong, online).
Media komik, di Jepang maupun di Indonesia pada awal kemunculannya mempunyai stigma sebagai media hiburan yang ‘kurang berkelas’, konsumsi anak-anak dan orang-orang yang kurang terpelajar, juga menyebabkan ‘ketagihan’ sehingga membuat anak-anak malas belajar dan kurang bergaul. Mungkin dalam satu sisi hal itu benar adanya, tetapi jika teliti lebih mendalam dan objektif, komik juga dapat dijadikan salah satu media efektif untuk menyampaikan informasi-informasi, pesan-pesan dan pendidikan bagi masyarakat luas.
Kepopuleran komik indies di awal tahun 1990-an juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan masyarakat sipil di Indonesia, hal ini maksudnya sejak media komik indies semakin populer dalam masyarakat Indonesia, pasca reformasi banyak bermunculan LSM-LSM yang memanfaatkan media komik sebagai sarana informasi dan pemberdayaan masyarakat. Di Jepan fungsi komik selain media hiburan juga mulai sejak tahun 1930-an yaitu komik digunakan sebagai propaganda mendukung perang (Kinsella, 2000), kemudian juga digunakan untuk pendidikan, iklan layanan masyarakat, promosi, dan sebagainya (Schodt, 1988).
Kepopuleran komik tersebut menimbulkan fenomena dalam kegiatan masyarakat sipil, yaitu pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan media komik. Komik-komik tersebut digunakan oleh LSM-LSM untuk menyampaikan pesan-pesan sosial, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Penggunaan komik sebagai media selain hiburan digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) untuk menyampaikan pesan-pesan atau opini-opini mengenai berbagai isu-isu dan juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat luas mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah, penyuluhan-penyuluhan, pendidikan sekolah, pendidikan agama, dan lain-lain. Misalnya, di Indonesia, penerbit Mizan yang berdomisili di Bandung menggunakan gambar-gambar komik untuk memperkenalkan ajaran-ajaran syariah Islam kepada anak-anak. Dengan kata lain, komik yang sebelumnya dianggap sebagai sarana hiburan bertambah fungsinya menjadi media informasi dan pendidikan bagi masyarakat yang dapat mendukung perkembangan masyarakat sipil.
Penelitian ini difokuskan pada komik-komik yang merupakan media yang digunakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO untuk memberikan informasi dan pembelajaran bagi khalayak luas. Misalnya sosialisasi kebijakan dan peraturan pemerintah, isu pelestarian lingkungan, kesehatan, pencegahan konflik, hak azazi manusia, dan sebagainya. Tema ini menarik untuk diteliti lebih mendalam dikarenakan dalam penlitian-penelitian komik sebelumnya sebagian besar difokuskan pada dampak komik terhadap pertumbuhan anak, hegemoni komik, posisi komik dalam budaya, dan sebagainya. Maka dari itu dalam penelitian ini akan melihat komik (komik Indonesia “cergam” dan komik Jepang “manga”) sebagai media yang berperan dalam aktivitas masyarakat sipil yaitu media yang memberikan informasi kepada khalayak luas sehingga terbentuk ‘opini publik’ dimana para warga negara dapat menangani masalah-masalah kepentingan umum tanpa paksaan, untuk menyatakan dan mengumumkan pandangannya.
Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil (civil society) merupakan suatu konsep yang telah dikenal selama puluhan tahun dan didiskusikan secara mendalam dan panjang lebar, baik oleh akademisi, praktisi maupun orang yang berkepentingan lainnya. Konsep itu telah muncul sejak masa awal Eropa modern, setelah itu sempat pada pertengahan abad 19 tidak dipergunakan, namun mulai populer lagi sejak tahun 1970 an. Berbarengan dengan konsep-konsep yang biasanya terkait dengannya, yaitu social capital dan public sphere, konsep civil society telah menjadi suatu perangkat analitik yang kuat untuk pemikiran mengenai cara-cara bagaimana orang, baik secara individual maupun dalam kelompok, berhubungan dengan tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang lebih luas (Pharr, 2003).
Terkandung dalam pengertian masyarakat sipil menurut Pharr (2003) adalah aktivitas sosial yang terorganisir dan bertahan, yang berlangsung dalam kelompok-kelompok yang terbentuk di luar wilayah negara, pasar dan keluarga. Kegiatan oleh kelompok-kelompok dan individu-individu tersebut menciptakan suatu medan bagi terlaksananya wacana, yang secara umum dikenal dengan istilah ‘ranah publik’ (the public sphere).
Masyarakat sipil adalah suatu konsepsi mengenai ranah yang terdapat di antara ‘keluarga’ dan ‘negara’, yang di dalamnya para aktor sosial tidak mengejar keuntungan dalam pasar maupun kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Masyarakat sipil dipenuhi oleh asosiasi-asosiasi dan oleh suatu ranah publik dari berbagai institusi, yang mendorong terjadinya perdebatan di antara orang-orang secara pribadi mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama (Schwartz, 2003).
Pelaku-pelaku dan kegiatan-kegiatan ‘non-negara’, ‘non-pasar’, dan ‘non-keluarga’ tentunya tidak sedikit dalam masyarakat manapun. Maka pertanyaan selanjutnya adalah macam pelaku dan kegiatan seperti apakah yang secara khusus dapat dianggap termasuk dalam ranah luas, di mana orang dapat saling bertemu untuk menciptakan kehidupan sosial dan wacana publik?
Bagaimanapun perdebatan yang ada atau apapun jawaban terhadap pertanyaan itu, suatu hal yang dapat dicatat adalah bahwa masyarakat sipil sebagai suatu konsep sudah menunjukkan manfaatnya sebagai perangkat analitik yang kuat untuk berpikir mengenai kehidupan asosiasional yang terdapat dalam suatu negara, kekuatan-kekuatan yang membentuknya, sifat kegiatan sosial di dalam kelompok-kelompok yang terdapat di dalamnya, serta keanekaragaman bentuknya secara lintas nasional.
Sebagaimana hakekat sebuah konsep, masyarakat sipil merupakan konsep yang mempunyai makna yang luas dimana hingga saat ini belum ada definisi yang kongkrit dan mendasar tentang masyarakat sipil itu sendiri, akan tetapi dalam penelitian ini akan mengutip salah satu definisi masyarakat sipil yang cukup sempit yaitu:
Civil society is the realm of the organized social life that is voluntary, self-generating, (largely) self-supporting, autonomous from the state, and bound by the legal order or shared rules. It is distinct from “society” in general in that involves citizens acting collectively in a public sphere to express their interests, passions, preferences, and ideas to exchange information, to achive collective goals, to make demands of the state, to improve the structure and functioning of the state, and to hold state officials accountable (Diamond dalam Hirata, 2002:10).
Menurut definisi di atas, masyarakat sipil adalah salah satu bagian dari kehidupan sosial yang bersifat sukarela, self-generating, mandiri, otonomi dari pemerintah, dan terikat dengan peraturan-peraturan yang disepakati bersama. Selain itu, masyarakat sipil berbeda dengan “masyarakat umum” yang mana di dalam masyarakat sipil terkandung makna warga negara bertindak secara kolektif di dalam ranah publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, keinginan-keinginanm pilihan-pilihan, dan ide-ide untuk saling bertukar informasi, meraih tujuan-tujuan secara kolektif, untuk menuntut terhadap pemerintah, untuk meningkatkan struktur dan fungsi dari negara, dan meminta pertanggung jawaban pihak elit pemerintahan. Hirata memaparkan beberapa batasan-batasan ataupun karakteristik yang dapat membedakan masyarakat sipil dari masyarakat pada umumnya. Pertama, masyarakat sipil adalah ranah yang berada di antara ranah pribadi dan negara sehingga tidak termasuk didalamnya parochial society (kehidupan pribadi dan keluarga, aktivitas tertutup seperti hiburan, rekreasi, dan aktivitas keagamaan) dan economic society (wiraswasta dan firma-firma bisnis yang bertujuan mencari keuntungan). Kedua, masyarakat sipil berbeda dengan political society (sistem partai politik). Ketiga, masyarakat sipil mempromosikan prularisme dan keaneka-ragaman (Hirata, 2003:11-12).
Terlepas dari batasan-batasan ataupun karakteristik yang dipaparkan di atas, masyarakat sipil terdiri dari organisasi masyarakat yang memiliki cakupan yang luas. Diamond (dalam Hirata, 2003) memaparkan beberapa kategori umum organisasi masyarakat sipil; (1) economic asociations (organisasi produktif dan komersial dan network), (2) kelompok-kelompok kebudayaan yang mempromosikan hak-hak, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kepercayaan-kepercayaan kolektif (organisasi-organisasi berbasis keagamaan, etnik, dan komunitas); (3) kelompok-kelompok yang memberikan informasi dan penyuluhan yang mempromosikan penyebaran informasi dan pengetahuan; (4) interest groups yang dibentuk sedemikian rupan guna mengedepankan kepentingan bersama dari anggotanya (kelompok yang merepresentasikan veteran-veteran, buruh-buruh, pensiunan atau profesional); (5) organisasi yang berbasis pembangunan yang mengumpulkan sumber-sumber individual untuk meningkatkan infrastruktur dan kualitas kehidupan dalam sebuah komunitas; (6) aksi-aksi yang berorientasi terhadap isu (kelompok perduli lingkungan, organisasi hak-hak perempuan); (7) kelompok-kelompok sipil yang dibentuk untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui pengawasan hak-hak azazi manusia dan pendidikan pemilihan umum; (8) organisasi dan institusi yang mempromosikan aktivitas-aktivitas yang bersifat otonomi, kebudayaan dan intelektual (media massa dan penerbit independen, universitas dan pusat kajian, asosiasi dan jaringan kesenian seperti kelompok-kelompok produksi drama dan film)
Pharr (2003) mengusulkan penggunaan ‘masyarakat sipil’ sebagai suatu istilah netral yang mencakup semua macam kelompok sosial, organisasi, dan gerakan, sepanjang kelompok-kelompok tersebut memenuhi kualifikasi minimal tertentu :
• dual autonomy dalam pengertian “secara relatif independen dari badan kewenangan publik maupun unit-unit produksi dan reproduksi swasta”;
• capacity for collective action dalam melakukan pembelaan terhadap atau memenuhi kepentingan dan kepedulian mereka;
• nonusurption dalam arti bahwa mereka tidak bermaksud atau tidak berniat untuk menggantikan tempat sebagai agen-agen negara atau untuk melangsungkan kebijakan negara.
• bersifat sukarela, paling tidak sampai sejauh bahwa keanggotaan atau inklusi ke dalam kelompok-kelompok itu bukan karena paksaan.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat dipilah-pilah mana kegiatan-kegiatan yang dapat dan sebaliknya tidak dapat dimaksudkan ke dalam pengertian ‘masyarakat sipil’.
Masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat, tetapi merupakan bagian yang lebih kecil dari masyarakat. Keluarga, kerusuhan, pemberontakan, semua aktivitas kehidupan yang berlangsung terus menerus, seperti yang berlangsung di tempat kerja, salon, kafe, pesta, piknik, tidak dapat dimasukkan ke dalam wilayah pengertian ‘masyarakat sipil’. Memang benar macam-macam aktivitas tersebut dapat menciptakan ‘modal sosial’ (social capital) – yang didefinisikan oleh Putnam (2000) sebagai “jaringan-jaringan sosial beserta norma-norma resiprositas dan trustworthiness yang muncul menyertainya” (hal mana tentunya menunjang bagi pembentukan kehidupan asosional), tetapi aktivitas-aktivitas informal itu tidak dengan sendirinya dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat sipil karena sifatnya yang tidak bertahan secara terus menerus dan teratur.
Selain Diamond dan Pharr, The British Library juga memaparkan beberapa karakteristik umum dari masyarakat sipil, yakni
 All observers agree that civil society refers to voluntary participation by average citizens and thus does not include behavior imposed or even coerced by the state.
 For some observers, it only includes political activity engaged in through nonprofit organizations such as nongovernmental organizations (NGOs). At the other end of the spectrum, some observers include all forms of voluntary participation, whether in the public or private sector, political or apolitical.
 Civil society includes not just the individuals who participate but the institutions they participate in. Thus, civil society is strong to the degree that those institutions are large and powerful.
 A civic culture is one in which most people think their government is legitimate and that their institutions (if not the leaders at any particular moment) can be trusted.
 Social capital is the human equivalent of economic capital. It is an intangible resource accumulated by civil society that can be expended when a society finds itself in crisis, as some argue occurred in the United States after September 11.
Maka dari itu, masyarakat sipil adalah sebuah ranah dari asosiasi di dalam masyarakat yang berada diluar Negara, dimana termasuk di dalamnya sebuah jaringan institusi-institusi yang mana melalui institusi-institusi tersebut masyarakat dan kelompok-kelompok di dalamnya merepresentasikan diri mereka secara kebudayaan, ideologis, dan politis.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Pasca reformasi tahun 1998 Lembaga Swadaya Masyarakat (baca—LSM) berkembang pesat di dalam masyarakat Indonesia. LSM adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan atau sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. LSM merupakan salah satu elemen civil society, selain di antaranya media (pers), mahasiswa, kelas menengah, dan kelompok professional. LSM berperan sebagai medium penghubung sekaligus penengah (intermediary) dari berbagai kepentingan yang belum terwakili, baik oleh partai politik maupun lewat ormas (Fahrudin, 2003:37).
Sejak tahun 1998, pertumbuhan LSM sangat pesat di mana pada tahun 1985 hanya berkisar 3000-an berkembang menjadi 19.000 lembaga tahun 2001. Pesatnya pertumbuhan LSM dilatarbelakangi berbagai faktor. Pertama, terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kedua, lembaga donor multilateral mensyaratkan adanya keterlibatan masyarakat untuk memberikan pelayanan publik dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Ketiga, eksistensi civil society, yang seringkali disebut sektor ketiga setelah Negara dan sektor swasta, tidak kalah penting dalam mendorong proses pembangunan sosial. LSM yang merupakan organ dari civil society merupakan alternatif solusi bagi penyaluran bantuan, baik dari Negara maupun lembaga donor. Maka dari itu, segala bentuk, macam, dan bidang organisasi LSM semakin bervariasi bahkan memiliki varian yang sangat luas. Kegiatan LSM dapat dikategorikan sebagai lembaga karitatif, pengawasan (controlling)m community development, advokasi, partisipasi dan pembelaan atas pelanggaran terhadap HAM, lingkungan, persamaan hak perempuan, dan masih banyak lagi dari sektor-sektor publik yang mengalami perlakuan marjinal (Fahrudin, 2003).
Berdasarkan pilihan orientasi visi dan misi, dan ragam kegiatannya, sedikitnya terdapat lima karakteristik dasar LSM yang lazim ditemukan di setiap negara. Pertama, LSM merupakan lembaga non-pemerintah, yang secara jelas membedakannya dari birokrasi dan institusi kenegaraan. Kedua, LSM didirikan dan dijalankan berdasarkan asas kesukarelaan (voluntary). Ketiga, LSM menjalankan kegiatannya tidak dengan tujuan mencari dan membagikan keuntungan (nirlaba). Keempat, LSM dimaksudkan sebagai lembaga yang melayani masyarakat umum, bukan anggota atau para aktivisnya sendiri. Kelima, LSM tidak berorientasi pada kekuasaan politik secara langsung yang membedakannya dari partai politik (Fahrudin, 2003).
Budaya Populer
Budaya populer merupakan konsep yang menjadi salah satu diskusi hangat di kalangan para pakar budaya, akan tetapi hingga kini belum ada definisi pasti mengenai budaya populer. Sebagaimana disebutkan oleh Toni Bennet, “as it stands, the concept of popular culture is virtually useless, a melting pot of confused and contradictory meanings capable of misdirecting inquiry up any number of theoretical blind alleys” (Storey, 1993). Dalam tulisan ini, pengkajian konsep budaya populer dilihat dari tiga konsep penting yaitu budaya, ideologi, dan populer.
Mengutip Raymond Williams (dalam Storey, 1993:2), budaya didefinisikan sebagai “…a particular way of life, whether of a people, a period or a group”. Definisi di atas menganggap budaya sebagai lived culture atau cultural practice. Sebagai contoh, antara lain perayaan hari raya seperti lebaran atau natal, kebiasaan membaca komik di kalangan remaja, kegiatan cosplay anak-anak muda Jepang, dan sebagainya. Selain itu Williams juga menjelaskan bahwa “culture could be used to refer to the works and practices of intellectual and especially artistic activity.” Budaya dalam konteks ini berbentuk teks-teks atau praktik-praktik kegiatan artistik seperti drama seri televisi, musik pop, buku komik, gaya berpakaian, dan sebagainya.
Berkaitan dengan ideologi, John Storey (2003, 4-9) memberikan lima definisi ideologi. Pertama, ideologi merupakan suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Kedua, ideologi adalah teks-teks atau praktik-praktik budaya tertentu yang menghadirkan berbagai macam citra tentang realitas tertentu yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktik-praktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai ‘kesadaran palsu’. Ketiga, ideologi adalah teks-teks budaya atau ‘bentuk-bentuk ideologis’ untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia. Keempat, ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai suatu praktik material. Artinya, ideologi bisa dijumpai dalam ‘praktik’ kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ‘ide-ide’ tertentu tentang kehidupan sehari-hari. Kelima, ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks atau praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apapun. Ideologi (atau mitos, menurut Barthes) dalam definisi ini menuntun kita pada perjuangan hegemonik untuk membatasi konotasi, untuk menetapkan konotasi-konotasi partikular, dan memproduksi konotasi-konotasi baru.
Konsep terakhir yang bermanfaat dalam kajian budaya pop adalah konsep ‘populer’. Williams (dalam Storey, 1993:6) memberikan empat makna mengenai konsep ‘populer’ yaitu; ‘well-liked by many people’; ‘inferior kinds of work’; ‘work deliberately setting out to win favour with the people’; ‘culture actually made by the people for themselves’. Jadi, dalam rangka mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan konsep ‘budaya’, ‘ideologi’, dan ‘populer’ yang ketiganya memiliki formulasi definisi sendiri-sendiri.
Berdasarkan ketiga konsep yang sudah dibahas sebelumnya budaya pop dapat didefinisikan sebagai berikut (Storey, 1993:6-14) : (1) Popular culture is simply culture which is widely favoured or well-liked by many people; (2) Popular culture is…the culture which is left over after we decided what is ‘high culture’; (3) Popular culture is as ‘mass culture’ ; (4) Popular culture is the culture which originates from ‘the people’; (5) Popular culture as a site of struggle between the forces of resistance of subordinate groups in society, and the forces of incorporation of dominant groups in society; (6) Popular culture is postmodernist culture.
Komik
Komik adalah bacaan populer yang disukai tua dan muda. Kehadirannya dapat diterima oleh hampir semua lapisan masyarakat. Fungsi yang utama adalah hiburan, namun tidak sedikit pelajaran yang dapat dipetik dari komik. Ironisnya, pada suatu masa, komik pernah dicerca dan tidak boleh dibaca oleh pelajar, karena dianggap memberi pengaruh kurang baik pada anak-anak (Zaimar & Hidayat, 1998:91). Marcel Boneff (1976) menyebutkan komik sebagai suatu cara komunikasi yang khas, yang merupakan kesatuan gambar dan teks. Sedangkan menurut Scott McCloud, ko-mik (kt. benda) bentuk jamak, digunakan dengan kata kerja tunggal. 1. Gambar-gambar dan lambang-lambang lain yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu, bertujuan untuk memberikan informasi dan/atau mencapai tanggapan estetis dari pembaca (2001:20). Menurut situs komik DC’S, komik adalah “...At its simplest, a comic is a series of words and pictures that is presented in a sequential manner to form a narrative” (online). Ketiga definisi tersebut dapat dikatakan komik adalah gambar-gambar dan kata-kata yang saling berurutan untuk membentuk naratif yang bertujuan untuk menyampaikan informasi.
Komik Jepang: Manga
Istilah “manga” dalam bahasa Jepang merupakan pengertian umum untuk mendeskripsikan semua buku komik, film animasi, kartun lucu (funnies), dan karikatur (Shiraishi, 1997). Artinya, istilah manga dalam konteks Jepang bisa mengandung beberapa pengertian di atas. Tapi, dalam tulisan ini istilah “manga” akan merujuk pada pengertian manga sebagai buku komik (seterusnya akan disebut manga).
Manga di Jepang umumnya, diterbitkan dalam dua format, yaitu zasshi dan tankōbon. Zasshi merupakan manga dalam format majalah berisi antologi beberapa cerita bersambung atau serial dari beberapa artis manga. Pada umumnya, setiap cerita panjangnya sekitar 15-35 halaman. Dicetak menggunakan kertas daur ulang dan tidak berwarna (umumnya hanya 1 atau 2 halaman pertama saja yang berwarna), dan harganya relatif murah berkisar antara 270-500 yen (Chen, 1997:98-99). Manga dalam format buku atau biasa disebut ‘tankōbon’ adalah cerita bersambung dari seorang artis manga yang sebelumnya telah dipopulerkan terlebih dahulu dalam majalah manga, misalnya manga Nana karya Yazawa Ai, yang sebelumnya diserialkan dalam majalah manga Cookie. Tankōbon dicetak menggunakan kualitas kertas yang lebih baik, tidak berwarna, panjangnya berkisar antara 100-200 halaman dengan harga 400-500 yen (Chen, 1997:98-99).
Sejarah manga di Jepang dapat ditelusuri sejak abad ke-12. Menurut Natsume Fusanosuke, masyarakat Jepang sejak dulu mempunyai hubungan dekat dengan medium cerita yang menggabungkan unsur gambar dan tulisan, seperti ‘emakimono’ yang berkembang di abad ke-12, seperti ‘kibyoshi’ dan ‘ukiyo-e’ yang berkembang di jaman Edo. Menurut catatan sejarah, awal penggunaan istilah manga dapat ditelusuri sejak tahun 1770-an. Baru pada abad ke-19 istilah manga digunakan secara komersial yaitu ketika serial karikatur cetakan balok kayu (woodblock print) karya Katsushika Hokusai diterbitkan pada tahun 1819. Sedangkan Istilah manga dan ‘mangaka’ (artis yang membuat manga) baru menjadi kosakata sehari-hari masyarakat Jepang sejak awal periode Shōwa (Shimizu, 1991:15). Penyebaran istilah manga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang di tahun 1930-an ini ditandai dengan kemunculan serial comic strip pertama yang diterbitkan di surat kabar Hochi dan Asahi Graph tahun 1920-an (Kinsella, 2000).
Manga yang kita kenal sekarang ini, berkembang sejak pasca Perang Dunia II dipelopori oleh Tezuka Osamu. Pada awalnya manga adalah media hiburan untuk anak-anak korban bom atom di akhir Perang Dunia II (Shiraishi, 1997), dalam kondisi penuh kehancuran di sekitar mereka serta trauma melihat orang tua, tetangga, teman, dan saudara mereka yang meninggal akibat ledakan dasyat dari bom atom, Tezuka Osamu menggambar manga untuk anak-anak. Dengan menggunakan gaya film kartun Disney dan Animasi Max Fleischer serta teknik-teknik sinematik film Perancis dan Jerman, Tezuka yang dijuluki “manga no kamisama” (dewa manga) membuat cerita-cerita manganya menjadi lebih ‘hidup’ dengan membawa pembacanya ke dalam sebuah perjalanan emosional antara kebahagiaan, kesedihan, kebenciam, kemarahan, kekecewaan, dan sebagainya melaui gambar-gambar dan tokoh-tokoh manganya. Dengan keahliannya, Tezuka membuat orang yang sedang membaca karya-karyanya seperti sedang menonton film. Tetsuwan Atom, Ribbon no Kishi, Buddha, dan Hi no Tori adalah beberapa karya legendaris Tezuka yang sangat populer di Jepang maupun di luar Jepang.
Gaya dan teknik manga Tezuka ini dikenal dengan nama ‘story manga’ atau ‘narrative comic’ (Schodt, 1988, Shiraishi, 1997).Gaya dan teknik ‘story manga’ ini merupakan cikal bakal manga kontemporer yang kita kenal sekarang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball Z, Fruit Basket, Slam Dunk, Doraemon dan masih banyak lagi judul-judul lain yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari orang di seluruh dunia, baik dalam bentuk bajakan maupun asli, yang sudah diterjemahkan atau masih dalam bahasa aslinya, yang dalam hal ini sudah mempunyai fans secara global. Tezuka Osamu juga menciptakan ‘sistem produksi’ dimana seorang manga-ka dibantu oleh para asisten sehingga memungkinkan untuk membuat manga dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Selain itu, secara tidak langsung memberikan pelajaran dan pengalaman berharga bagi para asisten tersebut ketika akhirnya mereka menjadi manga-ka profesional. Tezuka Osamu yang terkenal dengan ketekunan dan keseriusannya dalam menggambar manga memberi inspirasi untuk para manga-ka sesudahnya. Sebagai contoh, antara lain Fujio.Fujiko, dua manga-ka yang menciptakan karakter Doraemon yang mendapatkan penghargaan baik di Jepang maupun di luar Jepang (Shiraishi, 1997).
Manga di Jepang baik dalam format zasshi maupun tankōbon bukan saja media hiburan untuk anak-anak tetapi juga media hiburan untuk remaja dan orang dewasa. Berdasarkan klasifikasi usia dan jender, klasifikasi manga dibagi menjadi empat yaitu shōnen, shōjo, seinen, dan josei (redizu komi). Shōnen manga adalah manga untuk remaja laki-laki yang berusia di antara 8 tahun – 18 tahun. Ciri khas manga ini penuh aksi petualangan, tokoh protagonisnya adalah remaja laki-laki dan seringkali menggunakan plot humor untuk menggambarkan tokohnya. Misalnya, Dragon Ball, (karya Toriyama Akira) diserialisasikan pertama kali di majalah mingguan manga ShounenJump mulai dari tahun 1984 hingga tahun 1995, dan dikumpulkan menjadi 42 volume tankōbon di tahun 2004. ShonenJump merupakan majalah antologi manga yang memiliki sirkulasi tertinggi di Jepang. Shōjo manga adalah manga yang ditujukan untuk remaja putri berumur antara 12-18 tahun. Tema dan gaya ceritanya biasanya menekankan pada cerita kehidupan cinta anak-anak remaja SMP dan SMU. Manga seperti sailor moon, fruit basket, chobits adalah beberapa judul shojo manga populer yang dapat kita baca dewasa ini. Seinen manga adalah genre yang ditujukan bagi pembaca laki-laki berumur antara 18-30 tahun. Genre ini bisa dikatakan variasi dari genre manga shounen, tetapi dengan gaya cerita lebih kompleks dan berorientasi pada kondisi orang dewasa. Salah satu contoh manga genre ini adalah Akira. Josei manga adalah genre manga yang ditujukan untuk perempuan muda yang sudah bekerja berumur antara 21-30 tahun ke atas. Manga genre ini biasanya bertema tentang kehidupan kantor, rumah tangga, percintaan, dan sebagainya.