Saturday, February 28, 2009

Budaya Populer Jepang: Manga dalam Konteks Sosial-Budaya Jepang

1. Pendahuluan
Budaya populer Jepang sejak tahun 1990-an mendapatkan perhatian besar di dunia internasional. Dalam makalah ini, saya mencoba untuk membahas secara umum budaya populer Jepang yang berkembang sejak tahun 1990-an. Pembahasan diawali dengan menjelaskan secara singkat konsep budaya populer secara umum, dilanjutkan kemudian dengan pembahasan perkembangan budaya populer Jepang. Dalam makalah ini saya secara khusus membahas budaya manga yang dianggap sebagai salah satu soft power Jepang dalam percaturan budaya global dewasa ini.

2. Budaya Populer
Budaya populer (seterusnya ditulis budaya pop) adalah budaya yang muncul dari hasil interaksi sehari-hari, suatu kebutuhan dan keinginan, serta fenomena-fenomena sosial dari orang-orang yang hidup di dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya pop mencakup seluruh praktik kehidupan sehari-hari dari individu seperti memasak, berpakaian, musik, media massa, dunia hiburan, olah raga, dan sebagainya. Jadi, budaya pop merupakan hasil dari budaya yang bermacam-macam dan bersifat dinamis.
Budaya, ideologi dan populer merupakan konsep penting dalam pengkajian budaya pop. Mengutip Raymond Williams (dalam Storey, 1993:2), budaya didefinisikan sebagai “…a particular way of life, whether of a people, a period or a group”. Definisi di atas menganggap budaya sebagai lived culture atau cultural practice. Misalnya perayaan hari raya seperti lebaran atau natal, kebiasaan membaca komik di kalangan remaja, kegiatan cosplay anak-anak muda Jepang, dan sebagainya. Selain itu Williams juga menjelaskan bahwa “culture could be used to refer to the works and practices of intellectual and especially artistic activity.” Budaya dalam konteks ini berbentuk teks-teks atau praktik-praktik kegiatan artistik seperti drama seri televisi, musik pop, buku komik, gaya berpakaian, dan sebagainya.
Berkaitan dengan ideologi, John Storey (2003, 4-9) memberikan lima definisi ideologi. Pertama, ideologi merupakan suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Kedua, ideologi adalah teks-teks atau praktik-praktik budaya tertentu yang menghadirkan berbagai macam citra tentang realitas tertentu yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktik-praktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai ‘kesadaran palsu’. Ketiga, ideologi adalah teks-teks budaya atau ‘bentuk-bentuk ideologis’ untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia. Keempat, ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai suatu praktik material. Artinya, ideologi bisa dijumpai dalam ‘praktik’ kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam ‘ide-ide’ tertentu tentang kehidupan sehari-hari. Kelima, ideologi berfungsi terutama pada level konotasi, makna sekunder, makna yang seringkali tidak disadari, yang ditampilkan oleh teks atau praktik, atau yang bisa ditampilkan oleh apapun. Ideologi (atau mitos, menurut Barthes) dalam definisi ini menuntun kita pada perjuangan hegemonik untuk membatasi konotasi, untuk menetapkan konotasi-konotasi partikular, dan memproduksi konotasi-konotasi baru.
Konsep terakhir yang bermanfaat dalam kajian budaya pop adalah konsep ‘populer’. Williams (dalam Storey, 1993:6) memberikan empat makna mengenai konsep ‘populer’ yaitu; ‘well-liked by many people’; ‘inferior kinds of work’; ‘work deliberately setting out to win favour with the people’; ‘culture actually made by the people for themselves’. Jadi, dalam rangka mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan konsep ‘budaya’, ‘ideologi’, dan ‘populer’ yang ketiganya memiliki formulasi definisi sendiri-sendiri.
Berdasarkan ketiga konsep yang sudah dibahas sebelumnya budaya pop dapat didefinisikan sebagai berikut (Storey, 1993:6-14) : (1) Popular culture is simply culture which is widely favoured or well-liked by many people; (2) Popular culture is…the culture which is left over after we decided what is ‘high culture’; (3) Popular culture is as ‘mass culture’ ; (4) Popular culture is the culture which originates from ‘the people’; (5) Popular culture as a site of struggle between the forces of resistance of subordinate groups in society, and the forces of incorporation of dominant groups in society; (6) Popular culture is postmodernist culture.

3. Budaya Populer Jepang
Budaya pop Jepang mulai berkembang sejak Jaman Edo. Ketika itu Jepang yang berada di bawah kekuasaan Tokugawa melakukan politik menutup diri dari dunia luar (sakoku). Sebagaimana disebutkan oleh Kato Hidetoshi (Powers & Hidetoshi, 1989:302),
“…Japan during her period of isolation achieved a unique cultural maturity. Indeed, as Arnold Toynbee aptly remarked, from 1612 through 1868, approximately two and a half centuries, there existed in Japan the only period in the whole of human history where absolute peace prevailed and society devoted its efforts to cultural enterprises. Of course, there were minor internal conflicts, but after the Tokugawa government firmly established its power, Japan's economic surplus, which otherwise would have been used for foreign investment and external expansion, found its outlet in the area of domestic cultural development, particularly popular culture in the strict sense of the term”.
Pada saat itu kondisi Jepang relatif serba damai sehingga konsentrasi masyarakatnya lebih difokuskan dalam perkembangan aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya. Sementara itu, Timothy J. Craig menulis asal-usul budaya pop kontemporer Jepang berasal dari masyarakat biasa jaman Edo. Adapun pendapat Craig (2000:7) adalah sebagai berikut:
“The bloodlines of today’s popular culture go back in particular to the vibrant bourgeois culture, born of the common people and aimed at the new urban middle class, which developed and flourished during Japan’s Edo Period (1603-1867)”.
Berdasarkan pendapat dari Kato dan Craig di atas, budaya pop Jepang yang berkembang dewasa ini mempunyai hubungan erat dengan perkembangan budaya pop Jepang pada masa feodal, khususnya jaman Tokugawa. Oleh karena itu, budaya pop Jepang kontemporer harus dipahami sebagai sebuah tradisi budaya yang terus berkembang sejak periode Tokugawa.
Budaya pop kontemporer Jepang berkembang pesat sejak tahun 1990-an. Ketika itu, Jepang sedang mengalami masalah ekonomi dan politik, akan tetapi di saat yang bersamaan, Jepang kembali menunjukkan kemampuannya untuk menarik perhatian dunia, bukan dengan kekuatan ekonomi atau militer akan tetapi dengan menggunakan kekuatan budaya, khususnya budaya populer. Tsutomu Sugiura, Direktur Marubeni Research Institute (Washington Post Foreign Service, 2003:A01) mengatakan : "Japan is finding a new place in the world, and new benefits, through the worldwide obsession with its culture -- especially pop culture”. Pengaruh produk kultural populer Jepang secara perlahan namun pasti sudah menyebar di seluruh dunia. Tanpa kita sadari, banyak orang sekarang melihat, mendengar, memakai, membaca, dan memakan produk-produk pop Jepang. Mulai dari anime 1, manga2, alunan merdu bernuansa R&B Utada Hikaru, isntant ramen3, dan Harajuku style4 yang sekarang ini sedang in di kalangan anak muda Asia. Dengan kata lain, budaya pop Jepang memberikan pengaruh global baru di seluruh dunia. Yoel Sano (Asia Times online, 2006) menulis,
“One area in which Japan appears to be expanding its global influence is soft power…During the 1990s, more and more Japanese films, cartoons, computer games, manga (comics), fashion and food have been exported abroad. Major bookstores in the West now have large sections devoted to manga, more Japanese novels have been translated into English and more Western authors are writing novels about Japan. The number of Japanese-style eateries in the West has risen substantially, to the point where Japanese no longer staffs them”.
Joseph S. Nye, dosen ahli politik internasional dari Harvard yang menemukan istilah ‘soft power5’ di pertengahan tahun 1980an juga membahas mengenai budaya pop kontemporer Jepang sebagai sumber ‘soft power’ Jepang yang baru. Ia melihat ‘soft power’ Jepang bukan hanya berasal dari budaya tradisional Jepang seperti Zen, Karate, tetapi juga berasal dari manga, anime, dan elemen budaya pop lainnya (Joseph S. Nye, “Nihon no sofuto pawa: Sono genkai to kanosei” (Japan’s Soft Power: Its Limits and Potential, Gaiko Forum, 2004).
Anggapan lain mengenai budaya pop Jepang yang banyak mendapatkan perhatian dewasa ini adalah konsep ‘national cool’ yang diangkat oleh Douglas McGray, jurnalis asal Amerika Serikat. Konsep ini membahas penyebaran budaya pop Jepang secara internasional. Menurut McGray, “national cool” adalah sebuah variasi dari ‘soft power’ Jepang yang pernah dibahas oleh Nye sebelumnya. Selanjutnya, McGray juga mengatakan, ‘gross national cool’ sama dengan ‘gross national product’, dalam arti dapat digunakan sebagai standar penilaian untuk membandingkan kekuatan sebuah negara (McGray, Foreign Policy, 2002). Dengan kata lain, budaya pop Jepang mempunyai pengaruh secara global dan disukai oleh banyak orang.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, budaya pop merupakan budaya yang mencul hasil dari interaksi sehari-hari keinginan, kebutuhan, dan fenomena-fenomena sosial dalam sebuah masyarakat tertentu. Maka dari itu, dalam makalah ini akan membahas salah satu media budaya pop Jepang yang muncul dari hasil interaksi sehari-hari keinginan, kebutuhan, dan fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat Jepang, khususnya di kalangan generasi muda, yaitu manga.
4. Budaya Manga
Manga merupakan salah satu bentuk budaya kontemporer dan populer periode pasca Perang Dunia II yang mempunyai pengaruh besar di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Sebagaimana disebutkan Sharon Kinsella (2000:3) “Until the mid 1990s manga represented one of the most extensive forms of culture in post-war Japan. It is a contemporary medium and it is pop culture”. Istilah “Manga” dalam bahasa Jepang merupakan pengertian umum untuk mendeskripsikan semua buku komik, film animasi, kartun lucu (funnies), dan karikatur (Sugimoto,2003:249). Artinya, istilah manga dalam konteks Jepang bisa mengandung beberapa pengertian di atas. Tetapi, di dalam sub-bab ini istilah manga akan merujuk pada pengertian manga sebagai buku komik (seterusnya akan disebut manga).

Manga di Jepang umumnya, diterbitkan dalam dua format, yaitu majalah dan buku. Majalah manga (mingguan, 2 mingguan, dan bulanan) berisi kumpulan cerita serial dari beberapa artis manga, setiap cerita panjangnya sekitar 15-35 halaman. Dicetak menggunakan kertas daur ulang dan tidak berwarna (biasanya hanya 1 atau 2 halaman pertama saja yang berwarna), dan harganya relatif murah berkisar antara 270-500 yen. Manga dalam format buku atau biasa disebut ‘tankobon’ adalah kumpulan cerita seorang artis manga yang ceritanya sudah dipopulerkan terlebih dahulu di dalam majalah manga, misalnya Nana yang sebelumnya diserialkan di majalah manga Cookie. Tankobon dicetak menggunakan kualitas kertas yang lebih baik, tidak berwarna, panjangnya berkisar antara 100-200 halaman dengan harga 400-500 yen (Cooper-Chen, 1997:98-99). Menurut Craig (2000:8), Manga di Jepang berbeda dengan komik-komik Amerika. Perbedaannya terletak pada panjang cerita, isi dan tema yang beragam, serta teknik dan gaya gambar. Sebagaimana disebutkan Craig,
“Among the features that make manga richer and more interesting than American comics…are their length, which allows for more complex storytelling and deeper character development; the “cinematic” drawing style…which enables artists to impart greater visual impact and emotional depth to their stories; and the incredible diversity of manga in art styles, subject matter, and target audience”.
Sejarah manga di Jepang dapat ditelusuri sejak abad ke-12. Menurut Natsume Fusanosuke, masyarakat Jepang sejak dulu mempunyai hubungan dekat dengan medium cerita yang menggabungkan unsur gambar dan tulisan, seperti ‘emakimono’ yang berkembang di abad ke-12, ‘kibyoshi’ dan ‘ukiyo-e’ yang berkembang di jaman Edo (ABD 2003 Vo/. 34 No.1, online). Menurut catatan sejarah, awal penggunaan istilah manga dapat ditelusuri sejak tahun 1770-an (Shimizu dalam Kinsella, 2000:20). Baru pada abad ke-19 istilah manga digunakan secara komersil yaitu ketika serial karikatur cetakan balok kayu (woodblock print) karya Katsushika Hokusai diterbitkan pada tahun 1819. Sedangkan Istilah manga dan ‘mangaka’ (artis yang membuat manga) baru menjadi kosakata sehari-hari masyarakat Jepang sejak awal periode Showa (Shimizu dalam Kinsella, 2000:20). Penyebaran istilah manga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang di tahun 1930-an ini ditandai dengan kemunculan serial comic strip pertama yang diterbitkan di surat kabar Hochi dan Asahi Graph tahun 1920-an (Kinsella, 2000:20).
Manga yang kita kenal sekarang ini, yang berkembang sejak pasca Perang Dunia II dipelopori oleh Osamu Tezuka. Dengan menggunakan gaya film kartun Disney dan Animasi Max Fleischer serta teknik-teknik sinematik film Perancis dan Jerman, Tezuka yang dijuluki “manga no kamisama” (dewa manga) membuat cerita-cerita manganya menjadi lebih ‘hidup’ serta membuat para pembacanya merasakan sebuah perjalanan emosional yang bercampur-aduk antara senang, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya melalui gambar-gambar dan tokoh-tokoh manganya. Sejak kemunculan Tezuka, manga bukan lagi medium untuk anak-anak, tetapi juga menarik minat orang dewasa. Dengan keahliannya, Tezuka membuat orang yang sedang membaca manga seperti sedang menonton film. Mengutip pernyataan Tezuka (online) mengenai hasil karyanya,
“I felt (after the war) that existing comic were limiting. Most were drawn as if seated in an audience viewing from a stage, where the actors emerge from the wings and interact. This made it impossible to create dramatic or psychological effect, so I began to use cinematic techniques. French and German movies that I had seen as a schoolboy became my model. I experimented with close-ups and different angles, and instead of using only one frame for an action scene or the climax (as was customary), I made a point of depicting a movement or facial expression with many frames, even many pages. The result was a super long comic that ran to 500, 600, even 1000 pages. I also believe that comics were capable of more than just making people laugh. So in my themes I incorporated tears, grief, anger, and hate, and I created stories were the ending was not always happy”.
Karya-karya legendaris Tezuka seperti Tetsuwan Atom, Ribbon no Kishi, Buddha, dan Hi no Tori adalah beberapa contoh karya legendaris Tezuka yang populer baik di Jepang maupun di luar Jepang. Gaya dan teknik manga Tezuka ini dikenal dengan nama ‘story manga’ atau ‘narrative comic’ (Shiraishi dalam Katzenstein & Shiraishi, 1997:240). Gaya dan teknik ‘story manga’ ini merupakan cikal bakal manga kontemporer yang kita kenal sekarang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball Z, Fruit Basket, Slam Dunk, Conan, Doraemon dan masih banyak lagi judul-judul komik Jepang yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari orang di seluruh dunia. Baik dalam bentuk bajakan maupun asli, yang sudah diterjemahkan atau masih dalam bahasa aslinya, dalam hal ini komik Jepang sudah mempunyai fans secara global.
Manga merupakan bisnis besar dan sangat menguntungkan di Jepang. Total penjualan manga mencakup 37% dari seluruh penjualan buku dan majalah di Jepang. Keuntungan yang diperoleh dari seluruh penjualan manga dan majalah manga sebesar 504.7 milyar yen, dan jumlah manga dan majalah yang terjual sebanyak 1,384.2 juta volume (JETRO, 2005). Total penjualan manga tahun 2004 mengalami penurunan 1.9% dibandingkan total penjualan di tahun 2003 dan hal ini sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 1995. Akan tetapi, walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan, manga tetap saja merupakan media hiburan yang disukai oleh sebagian besar masyarakat Jepang.
Manga di Jepang bukan saja media hiburan untuk anak-anak tetapi juga media hiburan untuk remaja dan orang dewasa. Target pembaca manga dibagi menjadi 4 kategori utama yaitu, manga untuk remaja laki-laki (shōnen manga), remaja perempuan (shōjo manga), manga untuk dewasa (seinen manga), dan manga untuk wanita dewasa (ladies comic) (Kinsella, 2000:45). Berdasarkan pembagian tersebut, hampir semua kalangan masyarakat Jepang dapat menikmati manga dimana isi dan tema cerita yang sesuai dengan umur mereka. Isi dan tema manga di Jepang sangat bervariasi, mulai dari petualangan, percintaan, olah raga, masakan, Sci-fi, misteri, horor, komedi, bahkan manga erotis. Semuanya dirangkum dalam manga sedemikain rupa sehingga para pembaca manga dapat memuaskan kebutuhan hiburan mereka sesuai dengan isi dan tema favorit mereka.
Manga sangat melekat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang. Laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa gemar membaca manga di rumah dan sekolah, di dalam kereta, subways, dan bis, di manga kissa (kafe yang menyediakan koleksi manga sambil minum kopi) dan restoran, barber shop dan salon kecantikan, ruang tunggu rumah sakit dan klinik, dan sebagainya. Sharon Kinsella menyamakan manga seperti ‘udara’ yaitu sesuatu yang menyebar ke seluruh sudut kehidupan kontemporer masyarakat Jepang (Kinsella, 2000:4). Manga dapat dibeli hampir di semua tempat di Jepang, manga bisa didapatkan di kios-kios majalah, toko buku, pusat perbelanjaan, toko buku bekas, convinience store, vending machine, di trotoar, dan lain-lain.
Budaya manga yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang menimbulkan fenomena-fenomena sosial yang mempunyai hubungan erat dengan budaya manga Jepang, dalam makalah ini akan membahas beberapa di antaranya, yaitu otaku, doujinshi, comic market, dan cosplay.
Otaku dalam masyarakat kontemporer Jepang adalah istilah ‘slang’ yang digunakan untuk menyebutkan orang-orang yang sangat menggemari ‘sesuatu’ secara berlebihan. Pada umumnya, objek ‘kegilaan’ para otaku tersebut adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan anime, manga, pasokon (personal computer), gemu (game), idols, dan gunji (kemiliteran).
Istilah otaku mulai dikenal masyarakat Jepang ketika Nakamori Akio, kritikus dan artis doujinshi di tahun 1983 menggunakan kata otaku dalam serangkaian esai yang berjudul ‘otaku no kenkyu’ di majalah Burikko (Takarajima dalam Kinsella, 2000:128). Dalam esainya, Nakamori (dalam Grassmuck, 1990, online) mendeskripsikan otaku sebagai berikut; “It indicates the type of person who can not communicate with others, is highly concerned about details, and has one exclusive and maniac field of interest. Otaku tend to get fat, have long hair, and wear T-shirts and jeans”.
Sejak awal kemunculan otaku ini selalu mempunyai konotasi negatif. Kondisi ini diperburuk lagi dengan merebaknya kasus pembunuhan berantai anak-anak SD oleh Miyaki Tsutomu. Ketika polisi menggeledah kediaman Miyazaki, ditemukan banyak anime dan manga yang sebagian besar mengandung konten kekerasan dan pornografi, media massa Jepang mengekspos kasus tersebut dan menyebut Tsutomu sebagai seorang otaku (Kinsella, 2000:126-128).
Fenomena otaku semakin meluas di Jepang walaupun banyak mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat dan media massa, namun ada kelompok yang membela para otaku tersebut. Salah satunya adalah, Okada Toshio, dari studio Gainax yang memproduksi anime otaku no video. Di tahun 1995, penulis buku Otakuology ini mulai memperkenalkan fenomena otaku di kalangan intelektual Jepang dengan memberikan kuliah di Universitas Tokyo (Kinsella, 2000:131).
Perkembangan pesat industri manga komersil di tahun 1960-an mendorong perkembangan produksi manga yang bersifat amatir dan non-komersial. Manga amatir ini dihasilkan oleh artis-artis manga dan para manga otaku yang tidak termasuk di dalam lingkungan industri manga komersil atau yang tidak bersedia bekerja di dalam penerbit manga komersil yang menurut mereka mempunyai aturan-aturan yang dapat mengekang kebebasan mereka dalam berekspresi. Manga amatir ini di Jepang dikenal dengan istilah ‘doujinshi’.
Kata doujinshi adalah gabungan dari kata ‘doujin’ dan ‘shi’. Kata ‘doujin’ mengandung makna orang-orang yang mempunyai minat yang sama terhadap sesuatu, sementara kata ‘shi’ adalah kependekan dari kata ‘zasshi’ yang berarti majalah dalam bahasa Jepang (Kanemitsu, online). Dengan kata lain, doujinshi dapat dikatakan sebagai sebuah majalah yang dibuat oleh orang-orang yang mempunyai minat yang sama. Doujinshi mulai berkembang di tahun 1970-an seiring dengan perkembangan manga komersil, percetakan offset, mini communication, dan mesin fotocopy (Kinsella, 2000:105). Dengan berkembangnya keempat hal tersebut mempermudah para artis manga amatir dan juga para manga otaku yang mempunyai hobi menggambar untuk memproduksi hasil karya mereka sendiri.
Pada dasarnya, manga dan doujinshi tidak terlalu berbeda, keduanya adalah sebuah medium yang berisi gambar-gambar dan kata-kata yang tergabung menjadi satu kesatuan untuk menyampaikan sebuah cerita yang menyalurkan aspirasi dan perasaan pengarangnya. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada kebebasan ekspresi dan eksperimen dari para artisnya. Manga, walaupun masih mendapat protes sebagai media yang terlalu mengekspos kekerasan dan erotisme terlihat ‘normal’ dan ‘aman’ bagi para pembacanya dikarenakan manga masih terikat batasan-batasan yang ditentukan oleh editor dan penerbitnya, sedangkan dalam doujinshi para artisnya dengan ‘bebas’ mengekspresiken dan bereksperimen dengan ide dan perasaan mereka tanpa terikat oleh batasan-batasan yang ditentukan para editor serta penerbit. Kondisi ‘bebas’ ini karena doujinshi tidak diterbitkan melalui penerbit besar seperti ‘the big four’ (Kodansha, Shueisha, Shogakukan, dan Hakueisha) melainkan dicetak sendiri oleh para artisnya dalam skala kecil, selain itu penyebaran doujinshi juga hanya di kalangan orang-orang yang mempunyai minat sama terhadap cerita-cerita yang ditawarkan oleh para artis doujinshi. Tema dan genre dari doujinshi sangat beragam dan bervariasi, Sebagimana disebutkan oleh Dan Kanemitsu (online),
“The diversity of books available is breathtaking. There is no subject matter outside the realm of doujinshis… there are countless books devoted to musicians and their music, computer hardware and software, professional athletics, military analysis, American movies, science fiction, auto-racing, fetishism, international travel, critiques of comic books, American comic book characters, and much, much more…Action adventure, science fiction, loves romance, near future fiction, horror, erotica, abstract fantasy, contemporary life, speculative fiction, psychological drama, light hearted comedy, and many others”.
Doujinshi biasanya dibuat oleh sekelompok orang yang disebut circle. Setelah selesai karya mereka disebarkan melalui beberapa cara antara lain melalui internet, toko-toko khusus yang biasanya menjual manga dan anime bekas seperti Mandarake, dan juga konvensi berskala besar, salah satu di antaranya adalah ajang Comic Market atau comiket.
Comiket merupakan sebuah tempat yang luas dalam bentuk konvensi yang diselenggarakan dua kali setahun di Tokyo tempat dimana doujinshi diperjual- belikan. Comiket ini dibentuk oleh sekelompok kritikus manga yang terdiri dari Aniwa Jun, Harada Teruo, dan Yonezewa Yoshihiro yang mendirikikan sebuah institusi baru untuk mendorong perkembangan doujinshi (Kinsella, 2000:106).
Comiket diselenggarakan di Tokyo Harumi Trade Center dua kali setahun selama tiga hari, yaitu di bulan Agustus (summer comiket) dan Desember (winter comiket). Perkembangan comiket sangat pesat sejak pertama kali diselenggarakan di bulan Desember 1975 yang hanya diikuti oleh 32 kelompok komikus manga amatir dan 600 orang pengunjung. Sebagaimana disebutkan oleh Sharon Kinsella (2000:106),
“Between 1975 and 1984, Comic Market was held on three days a year, after which point attendance grew so large that it was rescheduled to to weekend conventions held in Tokyo Harumi Trade Center, In August and December…The first Comic Market held in December 1975 attracted 32 amateur manga circle, and 600 individuals (Comic Market 46:15)”.
Kehadiran comiket sangat mendukung para artis manga amatir dan para manga otaku muda untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam menciptakan doujinshi. Selain itu, keberadaan comiket mendorong terbentuknya circle komikus amatir manga baru seperti di sekolah-sekolah, universitas-universitas, dan artis manga amatir lainnya yang mempunyai hobi sama di seluruh Jepang (Kinsella, 2000).
Ajang comiket ini sekaligus juga tempat untuk memperagakan cosplay yaitu, sebuah subkultur Jepang yang berkembang di kalangan anak muda Jepang di tahun 1980-an (Kinsella, 2000). Cosplay adalah kegiatan dimana seseorang atau sekelompok orang berdandan memakai kostum yang terisnpirasi dari karakter-karakter manga, anime, tokusatsu, dan video games. Di Jepang cosplay bukan sekedar hobi saja, akan tetapi dapat dikatakan sebagai gaya hidup tersendiri.
Kostum-kostum dalam cosplay tidak terbatas pada tema tertentu. Para cosplayer senang berdandan dan mempertunjukkam fantasi favorit mereka, misalnya Sci-fi, anime, manga, dan karakter yang ada dalam permainan komputer. Cosplay di Jepang tidak hanya memakai kostum saja tetapi mereka juga mempertunjukkan sifat-sifat karakternya. Para Cosplayer ini biasanya berkumpul di hari sabtu-minggu di tempat-tempat seperti Harajuku, selain itu pada acara-acara khusus seperti kontes kostum, pesta-pesta cosplay, dan di comiket. Pada acara-acara tersebut, selain untuk memeriahkan acara, mereka juga datang untuk mempertunjukka kebolehan mereka.
5. Penutup
Budaya pop Jepang adalah budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jepang melalui perkembangan sejarahnya yang dapat ditelusuri, paling tidak, sejak jaman Tokugawa (Edo), meskipun ia juga menyerap atau dipengaruhi kebudayaan lain (kebudayaan Cina pada jaman Edo) dan kebudayaan Barat pada Jepang modern -- pengaruh Walt Disney pada manga Osamu Tezuka. Namun, sebagaimana diuraikan di atas, ciri-ciri ‘keJepangan’ dari budaya pop Jepang tetap menonjol. Perkembangan ini akan terus berlanjut dengan menampakkan ciri-ciri apa yang disebut dengan kebudayaan Jepang. Dalam arti, budaya pop Jepang merupakan bagian yang melekat dalam kebudayaan Jepang. Budaya pop ini tumbuh dan berkembang sebagai hasil kreativitas bangsa Jepang. Oleh karena itulah dia menampilkan keunikannya sebagai kebudayaan Jepang.
Disadari atau tidak, budaya pop ini merupakan sebuah kekuatan yang mengukuhkan ‘keunggulan’ kebudayaan Jepang sehingga ia dikategorikan sebagai soft power Jepang. Dari contoh yang diuraikan di atas, tampak bahwa, manga merupakan salah satu budaya pop Jepang yang mempunyai pengaruh besar tidak hanya di dalam masyarakat Jepang, tetapi juga di lingkungan masyarakat lain di belahan dunia yang lain seperti negara-negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia) dan Asia Timur (Korea dan Cina), Amerika, Eropa, bahkan hingga Afrika.
Lalu bagaimana perkembangan budaya pop, khususnya budaya manga di masa depan? Menurut saya, konsisten dengan pandangan bahwa budaya ini merupakan budaya yang tumbuh dari dalam masyarakat Jepang sendiri, budaya manga akan terus bertahan dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Meskipun, data statistik menunjukkan adanya kecendrungan menurunnya tingkat penjualan komik sejak tahun 1995, namun hal ini dibarengi dengan jumlah peminat anime dan game. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai budaya kreatif, manga telah mengembangkan dirinya atau bermemorfosa menjadi anime dan games. Dengan kata lain, budaya manga justru tidak mengalami stagnasi melainkan tumbuh menjadi lived culture yang khas seperti otaku dan cosplay.

Bibliografi:
Sumber buku:
Cooper-Chen, Anne.1997. Mass Communication in Japan. Ohio: Iowa State University Press
Craig, Timothy J. 2000. Japan Pop ! : Inside The World of Japanese Popular Culture. New York: M.E.Sharpe, Inc.
Gid Power, Richard & Hidetoshi, Kato. 1989. Hanbook of Japanese Popular Culture. United States of America: Greenwood Press.
Katzenstein., Peter J & Shiraishi., Takashi. 1997. Network Japan: Japan and Asia. United States of America: Cornell University Press.
Kinsella, Sharon. 2000. Adult Manga: Culture and Power in Contemporary Japanese Society. Great Britain: Curzon Press.
Storey, John. 1993. An Introductiory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. Great Britain: Harvester Wheatsheaf.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies (Dede Nurdi, penerj.). Yogyakarya: Penerbit Qalam.
Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduction to Japanese Society. 2nd.ed. New York: Cambridge University Press.

Sumber Internet:
Faiola, Anthony. 2003. Japan’s Empire of Cool: Country’s Culture Becomes Its Biggest Export. http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A33261-2003Dec26
Fusanosuke, Natsume. 2003. Japanese Manga: Its Expression and Popularity. http://www.accu.or.jp/appreb/09/pdf34-1/34-1P003-005.pdf
Grassmuck, Volker. 1990. I’m alone, but not lonely, Japanese Otaku-Kids colonize the Realm of Information and Media, a Tale of Sex and Crime from a faraway Place. http://www.cjas.org/~leng/otaku-e.htm
Kanemitsu, Dan. Celebration Through Self-Expression: An Introduction to Modern Japanese Comic Book Doujinshis
http://www.tc.umn.edu/~kane0034/doujin/celebrate.htm
McGray, Douglas. 2002. Japan’s Gross National Cool.
http://www.chass.utoronto.ca/~ikalmar/illustex/japfpmcgray.htm
Sano, Yoel. 2006. The Rising Sun slowly sets.
http://www.atimes.com/atimes/Japan/HD27Dh01.html
September 2004. Japan’s Soft Power Moves into the Limelight.
http://www.jetro.go.jp/en/market/trend/topic/2004_09_softpower.html.
Osamu Tezuka: God of Manga. http://www.hanabatake.com/research/tezuka.htm

No comments:

Post a Comment