Tuesday, May 19, 2009

Doujinshi


Fenomena sosial lainnya yang mempunyai hubungan erat dengan manga adalah manga amatir, yaitu dōjinshi. Perkembangan pesat industri manga komersil di tahun 1960-an mendorong perkembangan produksi manga yang bersifat amatir dan non-komersial. Manga amatir ini dihasilkan oleh artis-artis manga dan para manga otaku yang tidak termasuk di dalam lingkungan industri manga komersil atau yang tidak bersedia bekerja di dalam penerbit manga komersil yang menurut mereka mempunyai aturan-aturan yang dapat mengekang kebebasan mereka dalam berekspresi. Manga amatir ini di Jepang dikenal dengan istilah ‘dōjinshi’.
Kata dōjinshi adalah gabungan dari kata ‘dōjin’ dan ‘shi’. Kata ‘dōjin’ mengandung makna orang-orang yang mempunyai minat yang sama terhadap sesuatu, sementara kata ‘shi’ adalah kependekan dari kata ‘zasshi’ yang berarti majalah dalam bahasa Jepang (Kanemitsu, online). Dengan kata lain, dōjinshi dapat dikatakan sebagai sebuah majalah yang dibuat oleh orang-orang yang mempunyai minat yang sama. Dōjinshi mulai berkembang di tahun 1970-an seiring dengan perkembangan manga komersil, percetakan offset, mini communication, dan mesin fotocopy (Kinsella, 2000:105). Dengan berkembangnya keempat hal tersebut mempermudah para artis manga amatir dan juga para manga otaku yang mempunyai hobi menggambar untuk memproduksi hasil karya mereka sendiri.
Pada dasarnya, manga dan dōjinshi tidak terlalu berbeda, keduanya adalah sebuah medium yang berisi gambar-gambar dan kata-kata yang tergabung menjadi satu kesatuan untuk menyampaikan sebuah cerita yang menyalurkan aspirasi dan perasaan pengarangnya. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada kebebasan ekspresi dan eksperimen dari para artisnya. Manga, walaupun masih mendapat protes sebagai media yang terlalu mengekspos kekerasan dan erotisme terlihat ‘normal’ dan ‘aman’ bagi para pembacanya dikarenakan manga masih terikat batasan-batasan yang ditentukan oleh editor dan penerbitnya, sedangkan dalam dōjinshi para artisnya dengan ‘bebas’ mengekspresiken dan bereksperimen dengan ide dan perasaan mereka tanpa terikat oleh batasan-batasan yang ditentukan para editor serta penerbit. Kondisi ‘bebas’ ini karena doujinshi tidak diterbitkan melalui penerbit besar seperti ‘the big four’ (Kodansha, Shueisha, Shogakukan, dan Hakueisha) melainkan dicetak sendiri oleh para artisnya dalam skala kecil, selain itu penyebaran dōjinshi juga hanya di kalangan orang-orang yang mempunyai minat sama terhadap cerita-cerita yang ditawarkan oleh para artis dōjinshi. Tema dan genre dari dōjinshi sangat beragam dan bervariasi, Sebagimana disebutkan oleh Schodt (Schodt, 1996:37),
“The dōjinshi sold at the conventions consist of a variety of genres, including orijinaru (original works), aniparo (parodies of popular animation shows), ju-ne mono (serious stories of love between gay males, of the sort pioneered by ju-ne magazine, and y-a-o-i (from the phrase YAma-nasi, Ochi-nasi, Imi-nasi, meaning “no climax, no punchline, no meaning”; playful stories of a nonsensical sort, often taking male characters from popular animation series and depicting them in gay relationships). For males the most popular genres are probably bishōjo (“beautiful young girls”) and rorikon (“Lolita complex”)”.
Dōjinshi biasanya dibuat oleh saakaru (huruf katakana) atau circle. Mereka sekelompok orang yang mempunyai minat sama berkolaborasi untuk menciptakan dan menerbitkan hasil karya mereka. Di tahun 1996 diperkirakan terdapat 50.000 manga circle di Jepang (Schodt, 1996). Sebagaimana disebutkan di atas, doujinshi bukan produk komersil yang didistribusikan secara massa. Pendistribusiannya berskala kecil antara 500 hingga 1000 eksemplar dan disebarkan melalui yang adalah internet, toko-toko khusus yang biasanya menjual manga dan anime bekas seperti Mandarake, dan juga konvensi berskala besar, salah satu di antaranya adalah ajang Comic Market atau comiket.

No comments:

Post a Comment